Rabu, 21 Juni 2017

Ketika Syekh Abdul Qodir Jaelani di rampok

kisah abdul qodir jaelani 

Kisah Syekh Abdul Qodir Jaelani Dan Perampok

Di ceritakan Pada suatu hari saat syeh Abdul qodir masih belia, beliau meminta izin kepada ibundanya untuk melakukan perjalanan ke kota bahgdad, Abdul qodir kecil sangat menginginkan berkunjung ke rumah orang-orang shaleh yang bermukim di kota bahdad, sekaligus menimba ilmu dari mereka.

Melihat antusias anaknya menimba ilmu, ibundanya pun merestuinya, lalu memberikan uang bekal perjalanan sebanyak empat puluh dinar. Supaya aman, ibundanya sengaja membuat saku dibawah ketiak untuk menyimpan uang tersebut. Seraya ber pesan supaya menjaga tingkah laku dan selalu berkata jujur dalam segala keadaan. Abdul qodir kecilpun sangat memperhatikan apa yang di katakana ibundanya, lalu beliau pun meningnggalkan rumah seraya mengucapkan salam perpisahan.

“Pergilah nak, ibu sudah menitipkan keselamatanmu pada alloh,supaya kamu senantiasa mendapat pemeliharaanya_Nya,” Ucap ibunda abdul qodir.

Anak yang pemberani itu pun pergi beserta rombongan kafilah unta yang hendak menuju ke kota bahdad. Tak disangka ketika abdul qodir dan rombongan melintas di suatu tempat yang bernama Hamdan, muncullah enam puluh orang berkuda dan mereka menghampiri rombongan lalu merampas seluruh harta rombongan tersebut.

Yang sangat menarik dari kejadian tersebut, tidak ada seorang pun yang menghampiri abdul qodir,sehingga pimpinan perampok menyuruh salah satu anak buahnya untuk bertanya kepadanya,perampuk itu lalu menayainya “ Hai orang miskin, Harta apa yang kamu bawa?”

“Aku membawa empat puluh dinar,” jawab Abdul Qadir polos.

“Di mana kamu meletakkannya?”

“Aku letakkan di saku yang terjahit rapat di bawah ketiakku.”

Mendengar jawaban seperti itu sang perampok pun tidak mempercayai ucapanya dan mengira abdul qodir hanya meledek saja, ia pun meninggakan bocah laki-laki tersebut.

Selang beberapa waktu, datang lagi salah satu dari anggota perampok dan memberikan pertanyaan yang sama. Abdul Qodir pun kembali menjawab apa adanya seperti jawaban pada perampok yang pertama, sekali lagi perkataan jujurnya tak mendapatkan respon yang berarti dari sang perampok dan si perampok pun ngeluyur pergi begitu saja. Lalu melaporkan jawaban abdul qodir pada pemimpin mereka.

Mendengar jawaban yang sama dari dua anak buahnya, pemimpin gerombolan perampok tersebut merasa heran atas apa yang di ceritakan mereka. Lalu ia pun berkata “Panggil Abdul Qadir ke sini!” Perintahnya.

“Apa yang kamu bawa?” Tanya kepala perampok itu.

“Empat puluh dinar.”

“Di mana empat puluh dinar itu sekarang?”

“Ada di saku yang terjahit rapat di bawah ketiakku.”

Lalu pemimpin perampok itu menyuruh anak buahnya supaya menggeledah saku yang ada di ketiak abdul qodir, dan mereka pun menemukan uang sebanyak empat puluh dinar. Melihat kejadian itu para perampok pun geleng-gelang kepala dan merasa sangat heran, seandainya saja saat itu abdul qodir berbohong, rombongan perampok itu tak akan mengetahui bahwa dia membawa uang sebanyak empat puluh dinar,karena saat itu mereka melihat  penampilan abdul qodir yang sangat sederhana layaknya orang miskin.
Lalu pemimpin perampok itu bertanya, “Apa yang mendorongmu berkata jujur pada kami?”

“Ibuku memerintahkan untuk selalu berkata jujur pada segala keadaan. Aku tak berani durhaka kepadanya,” jawab Abdul Qadir.

Mendengar jawaban anak kecil yang sangat polos tersebut, pemimpin perampok itu menangis, seperti sedang dihantam rasa penyesalan yang sangat mendalam. “Engkau tidak berani ingkar terhadap janji ibumu, sedangkan aku sudah bertahun-tahun mengingkari janji Tuhanku.”

Lalu Dedengkot perampok itu pun menyatakan tobat di hadapan Abdul Qadir, bocah kecil yang kelak namanya harum di mata dunia sebagai Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Drama pertobatan ini lantas diikuti para anak buah si pemimpin perampok secara massal.

Kisah ini diceritakan dalam kitab Irsyadul ‘Ibad karya Syekh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibari, yang mengutip cerita dari al-Yafi’i, dari Abu Abdillah Muhammad bin Muqatil, dari Syekh abdul Qadir al-Jailani.


0 komentar:

Posting Komentar